Ketua Badan Musyawarah (Bamus) Papua Willem Frans Ansanay mengapresiasi dibentuknya daerah otonomi baru (DOB) di Papua dan menyebut DOB tersebut akan memudahkan penanganan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Jadi, kalau dulu kita sangat sulit mengikuti penyelesaian pelanggaran HAM, benang kusutnya terlalu rumit; sekarang dengan DOB, rentang kendali birokrasi diperpendek dan pelayanan publik dimaksimalkan," kata dia dalam siniar Nusantara 2045 yang dipandu oleh Pemerhati Isu Strategis Nasional dan Internasional Imron Cotan, Kamis.
Selain itu, sambung Willem, dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, akselerasi pembangunan yang digencarkan oleh pemerintah juga diyakininya akan membuat masa depan Papua menjadi lebih baik dan menumbuhkan banyak harapan baru di daerah itu.
Lebih lanjut, dia menilai masalah pelanggaran HAM di Papua harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Perbuatan Pelanggaran HAM yang bisa terjadi terhadap hak-hak hidup orang lain, baik pribadi, kelompok, maupun institusi.
Baca juga: Panglima: Pembangunan markas TNI di DOB Papua untuk jaga kedaulatan
Baca juga: Anggota DPR sebut Komisi II akan bentuk panja untuk awasi DOB Papua
Baca juga: Panglima: Pembangunan markas TNI di DOB Papua untuk jaga kedaulatan
Baca juga: Anggota DPR sebut Komisi II akan bentuk panja untuk awasi DOB Papua
"Untuk konteks pelanggaran Papua yang terjadi baik di masa lampau maupun saat ini memang tidak terlepas dari perbedaan persepsi tentang bagaimana hidup berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," ucapnya.
Dia menyebut salah satu hal yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM adalah persoalan Papua yang dulu bernama Irian Barat. Padahal, kata Willem, persoalan tersebut telah selesai dan Papua sepenuhnya bagian dari NKRI.
"Jika masih ada kekecewaan sehingga meletus dan melebar kepada keinginan yang tidak sejalan dengan tujuan berbangsa dan bernegara, maka inilah yang kadang-kadang menciptakan terjadinya pelanggaran HAM baik disengaja atau tidak, baik pribadi perorangan atau kelompok," imbuhnya.
Terkait penangan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, Willem menyebut pendekatan hukum formal memang merupakan amanat undang-undang. Namun, ia menjelaskan beberapa daerah di Papua memiliki karakteristik berbeda, sehingga hukum adat juga memungkinkan untuk diberlakukan.
"Tetapi hukum adat itu sendiri bisa dirundingkan, dibicarakan, sehingga tidak terlalu fenomenal untuk merugikan pihak yang lain. Namanya hukum konvensi itu 'kan kesepakatan, mana yang bisa dibicarakan dengan baik. Tinggal bagaimana pemerintah daerah membangun komunikasi yang baik dengan tokoh masyarakat, tokoh adat atau intelektual setempat," tuturnya.
Di sisi lain, Willem berharap pemerintah daerah (pemda) bisa memahami duduk persoalan yang terjadi dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Oleh sebab itu, ia mendorong memaksimalkan pelayanan publik oleh pemda setempat.
"Kalau pelayanan publik-nya baik, saya kira hal-hal yang kita khawatirkan soal pelanggaran HAM itu tidak akan mungkin terjadi," ucapnya.
Dia pun berharap pemimpin di Papua untuk tidak mementingkan keinginan pribadi dan mendedikasikan penuh hidupnya untuk pengabdian bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Senada dengan Willem, Imron Cotan juga melihat dengan adanya DOB, pelayanan birokrasi dan pelayanan publik menjadi cepat, efektif, dan mudah, sehingga diharapkan bisa mempercepat berbagai pelanggaran HAM yang terjadi.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023